Jakarta, CNN Indonesia — Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kontrak karya PT Freeport Indonesia pada 2013-2015 menyimpulkan, pengelolaan pertambangan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BPK bahkan memperkirakan hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang seharusnya dapat diterima dari pembayaran iuran tetap, royalti, dan royalti tetap pada 2009-2015 senilai US$446 juta.
“Pembayaran iuran tetap, royalti, dan royalti tambahan oleh Freeport menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarnya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif yang berlaku saat ini,” tulis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017, dikutip Selasa (3/10).
Selain permasalahan tersebut, permasalahan yang perlu mendapat perhatian, menurut BPK adalah hilangnya potensi peningkatan pendapatan negara melalui dividen Freeport dan hilangnya kesempatan pemerintah untuk berperan dalam pengambilan keputusan strategis manajamen. Pasalnya, hingga 2017, kepemilikan pemerintah Indonesia atas Freeport belum optimal dan proses divestasi saham berlarut-larut.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, ketentuan pasal Kontrak Karya (KK) Freeport harus disesuaikan dengan pemerintah Indonesia selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkan. Pemerintah pun sejak 2010 telah mulai melaksanakan renegosiasi KK. Pada 2015, hasil renegosiasi menekankan pada enam isu strategis, yakni luas wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang, jasa, serta tenaga kerja dalam negeri.
Seperti diketahui, negosasi antara pemerintah dan Freeport akhirnya mencapai beberapa kesepakatan penting pada akhir bulan lalu. Kesepakatan tersebut mencakup perpanjangan kontrak perusahaan tersebut di Indonesia dan divestasi sahamnya kepada pemerintah hingga mencapai 51 persen. Namun, hingga kini pemerintah dan Freeport belum menyepakati skema divestasi saham tersebut.
Adapun, hingga saat ini, pemerintah tercatat baru memiliki 9,36 persen saham pada perusahaan tambang tersebut.
Di samping itu, laporan BPK juga menyebut adanya permasalahan terkait pengelolaan limbah tailing (akhir) Freeport yang belum sesaui dengan peraturan lingkungan yang berlaku di Indonesia. Pembuangan limbahnya bahkan telah mencapai kawasan laut, sehingga mengakibatkan perubahan ekosistem serta kerusakan dan kerugian lingkungan.